Tindak Pidana Terhadap Makar (Studi Analisis KUHP Pasal 104, 106, dan 107dan Fiqh Al-Syāfi’iyyah)
Makar  di  Indonesia  sangat  penting  dengan  kondisi  masyarakat  karena  banyak
permasalahan-permasalahan yang muncul dan sulit diselesaikan dan menyebabkan
masyarakat yang tidak mengetahui tentang arti makar ikut melawan dan menghina
simbol  negara.  Bagi  masyarakat  pada  umumnya  agar  mengetahui  sampai  sejauh
mana  suatu  perbuatan  itu  dikatakan  sebagai  tindak  pidana  makar  dan  untuk
menghindari  terjadinya  kesimpangsiuran  atau  salah  pengertian  masyarakat  pada
umumnya  mengenai  tindak  pidana  makar.  Karena  di  dalam  figh  Al-Syāfi’iyyah
menjelaskan  salah  satu  unsur  dari  pemberontakan  (al-baghyu)  selalu  bersifat
demonstratif yaitu selalu didukung oleh kekuatan bersenjata, sedangkan makar dalam
KUHP tidak menjelaskan seluruhnya khususnya di dalam Pasal 104, 106 dan 107.
Rumusan masalah: apa saja unsur tindak pidana makar pada pasal 104, 106 dan 107
KUHP. Bagaimana  tindak  pidana  makar  dalam  pasal  104,  106  dan  107  dalam
tinjauan fiqh  Al-Syāfi’iyyah. Tujuan untuk mengetahui  unsur tindak pidana makar
pada pasal 104, 106 dan 107 KUHP dan untuk menegtahui  tindak pidana makar
dalam  pasal  104,  106  dan  107  dalam  tinjauan  fiqh  Al-Syāfi’iyyah.  Metode  yang
digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah  jenis  penelitian  kualitatif  pendekatan
normative dan bersifat deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa  unsur-unsur
di setiap Pasal 104, 106 dan 107 KUHP yang didalamnya terdapat dua unsur yakni
unsur  subyektif  dan  unsur  obyektif.  Pasal  104  terdapat  unsur  subyektif:  dengan
maksud, unsur obyektif: makar, yang dilakukan, unruk menghilangkan nyawa, untuk
merampas  kemerdekaan,  untuk  tidak  mampu  memerintah,  Presiden  dan  Wakil
Presiden. Pasal 106 terdapat unsur subyektif: dengan maksud dan unsur obyektif:
makar,  yang  dilakukan,  membawa  ke  bawah  kekuasaan  asing,  wilayah  negara,
seluruh atau sebagian, memisahkan dan sebagian wilayah negara. Pasal 107 terdapat
unsur  subyektif:  dengan  maksud  dan  unsur  obyektif:  makar,  yang  dilakukan  dan
merobohkan  pemerintah.  Dari  segi  perbedaan,  dalam  fiqh  Al-Syāfi’iyyah pelaku
pemberontak diberikan sanksi apabila kejahatan dilakukan, dengan kata lain tindakan
pemberontak akan diberi sanksi setelah adanya perintah untuk bertobat dan tidak mau
maka akan mendapatkan sanksi. Sedangkan dalam hukum positif, pelaku makar akan
diberi sanksi tanpa didahului oleh perintah untuk bertaubat. Sedangkan dalam hal
persamaannya  adalah  baik  pelaku  pemberontak  maupun  makar,  keduanya  bisa
dijatuhi hukuman mati.
edit_page
 
        					    Untuk membaca file lengkap dari naskah ini, Silahkan Login. 
    					    
